Tuhanku, aku masih ingat pertama aku belajar mencintaiMu. Lembar demi lembar kitabMu kupelajari. Untai demi untai kata para ustadz kuresapi. Tentang cinta para nabi, tentang kasih para shahabat, tentang mahabbah para sufi, tentang kerinduan para syuhada. Semua itu lalu kutanam dalam-dalam pada jiwaku, kutumbuhkan dalam mimpi-mimpi dan idealisme yang mengawang tinggi di awan.
Tapi Rabbii, berbilang detik, menit, jam, hari, pekan, bulan dan tahun berlalu, aku berusaha mencintaiMu dengan cinta yang paling utama. Tapi aku masih tak menemukan cinta tertinggi untukMu. Gelisahku makin membadai dalam cinta yang mengawang, sedang kakiku mengambang tiada menjejak bumi, hingga aku terhempas dalam jurang dan kegelapan.
Wahai Ilahi, berbilang detik, menit, jam, hari, pekan, bulan dan tahun berlalu, aku mencoba merangkak, menggapai permukaan bumi dan menegakkan jiwaku kembali, meratap, memohon dan menghibaMu: Allahu Rahiim, Ilaahi Rabbii, perkenankanlah aku mencintaiMu, semampuku. Allahu Rahmaan, Ilaahi Rabii, perkenankanlah aku mencintaiMu sebisaku, dengan segala kelemahanku.
Ilaahi, aku tak sanggup mencintaiMu dengan kesabaran menanggung derita, seumpama Nabi Ayyub, Musa, Isa hingga Al musthafa. Karena itu izinkan diriku mencintaiMu melalui keluh kesah pengaduanku padaMu atas derita batin dan jasadku, atas sakit dan ketakutanku.
Rabbii, aku tak sanggup mencintaiMu seperti Abu bakar, yang menyedekahkan seluruh hartanya dan hanya meninggalkan Engkau dan RasulMu bagi diri dan keluarga. Atau layaknya Umar yang menyerahkan separo harta demi jihad. Atau Utsman yang menyerahkan 1000 ekor kuda untuk syiarkan dienMu. Izinkan aku mencintaiMu, melalui seratus-dua ratus rupiah yang terulur pada tangan-tangan kecil di perempatan jalan, pada wanita-wanita tua yang menadahkan tangan di pojok-pojok jembatan. Pada makanan sederhana yang terkirim ke handai taulan. Aku tak sanggup mencintaiMu dengan khusyuknya shalat salah seorang shahabat NabiMu hingga tiada terasa anak panah musuh terhunjam di kakinya. Perkenankan aku tertatih menggapai cintaMu dalam shalat yang coba kudirikan terbata-bata, meski ingatan kadang melayang ke berbagai permasalahan dunia.
Robbii, aku tak dapat beribadah ala para sufi dan rahib, yang membaktikan seluruh malamnya untuk bercinta denganMu. Namun izinkanlah aku mencintaimu dalam satu-dua rekaat lailku. Dalam satu dua sunnah nafilahku. Dalam desah napas kepasrahan tidurku.
Allaahu Yaa Karim yang Maharahmaan dan Maharahiim, Aku tak sanggup mencintaiMu bagai para al hafidz dan hafidzah, yang menuntaskan kalamMu dalam satu putaran malam. Perkenankan aku mencintaiMu, melalui selembar dua lembar tilawah harianku. Lewat lantunan seayat dua ayat hafalanku. Aku tak sanggup mencintaiMu semisal Sumayyah, yang mempersembahkan jiwa demi tegaknya DienMu, seperti para syuhada yang menggadaikan dirinya dalam jihadnya bagiMu. Perkenankan aku mencintaiMu dengan mempersembahkan sedikit bakti dan pengorbanan untuk dakwahMu. Izinkanlah aku mencintaiMu dengan sedikit pengajaran bagi tumbuhnya generasi baru. Aku tak sanggup mencintaiMu di atas segalanya, bagai Ibrahim yang rela tinggalkan putra dan zaujahnya, dan patuh mengorbankan pemuda biji matanya. Izinkan aku mencintaiMu di dalam segalanya; mencintaiMu dengan cara mencintai RasulMu, Ayah, Ibu dan keluargaku, mencintai sahabat-sahabatku, mencintai manusia dan alam semesta.
Allaahu Rahmaanurrahiim, Ilaahi Rabbii, perkenankan aku mencintaiMu semampuku, agar cinta itu mengalun dalam jiwa, agar cinta ini mengalir di sepanjang nadiku. Sampai engkau lepaskan desahan nafas dari ragaku.
Ilahi, Engkau ciptakan aku dengan bentuk sempurna. Aku menikmati indahnya hidup dan berjalan, memandang dunia. Bentuk sempurna ini banyak kusia-siakan. Jalanku tak terarah, padahal petunjukMu telah nyata. Pandanganku tak terhijab, sementara mata ini nanti dihisab. Islam kuletakkan di sakuku. Ajaran yang paripurna dan sempurna kupilah-pilah, seolah-olah ada jalan lain kembali padaMu selain syurga dan neraka. Aku yang hina, masih adakah jalan itu bagiku? Kau ciptakan aku dengan fitrah IslamMu. Kunikmati indahnya Islam. Sedih, senang, pahit, manis, gembira, dan sengsara, semuanya terasa indah.
Tuhan, aku malu kepadaMu. Aku tahu aku salah. Aku tahu aku banyak dosa. Tapi aku masih bisa tertawa. Bahkan tak pernah menangis dihadapanMu. Aku tahu, Fardhu apapun bentuknya: 'Ayn, Kifayah, sunnah dan semuanya, adalah perintahmu juga. Tapi aku masih memilah-milah. Shalat kujalani, tapi kenapa berkerudung dan berjilbab, berdakwah, aku enggan. Padahal aku tahu itu juga perintahMu! Shaum senin-kamis, bahkan shaum Nabi Daud pun kulakoni. Tapi kenapa aku malas berjuang demi tegaknya hukum-hukum Islam? Aku Malu, ternyata masih ada nilai lain yang aku cari dalam hidup ini, padahal perintah dan laranganMu seharusnya jadi poros hidupku.
Tuhanku, mencintaiMu seluruh jiwaku, di dalam rongga-rongga dadaku yang tak rapat, kucari engkau, kutelusuri air dan darah dalam tubuhku yang mengalir, kusatukan ritme-ritme gelombang agar kudengar bisikan ayat-ayatmu yang indah dan tegas, kupaterikan dalam dalam agar sang malaikat mendengar lidahku sejujurnya dan kepahaman hatiku hanya untukMu. Ingin selalu seluruh jiwaku hanya untuk mencintaimu, . jauh dari rasa dengki, dendam, benci, culas, fitnah, mendirikan shalat dan bersedekah hanya karenaMu.
Ya Allah, jangan silaukan hamba dengan fatamorgana kehidupan ini, seolah kehidupan sudah final di ujung kemapanan hidup hamba, seolah persoalan sudah purna di ujung terpenuhinya hajat hidup hamba sekeluarga, seolah hidup sudah cukup selesai dengan senangnya hati hamba, seolah hamba sudah cukup sholeh dengan mengingatmu sehari lima waktu. Jika airmta kami adalah cucuran penyesalan, maka linangkanlah tangisan ini hanya untuk berserah diri kepadaMu.
“Ya muqollibul qulub, tsabit qolbiy 'ala dinika wa ‘ala tho’atika” (Wahai zat yang dengan leluasa mampu membolakbalikkan hati, tetapkan hatiku dalam agamaMu dan ketaatan padaMu).
--------------
Dicuplik dari berbagai sumber
Catatan : alm. Islisyah Asman
No comments:
Post a Comment